Follow ig saya @nabbslll
Subscribe Youtube saya Nabilah Haruna
🤗💕
Bagaimana aku bisa bilang "sayang" sementara kamu tidak mengasihiku?
Apa jadinya aku tanpamu? Ah, biasa saja. Bukankah sebelum bertemu kamu, aku terbiasa sendiri dan mengerjakan semuanya seorang diri?
"Lalu, untuk apa aku hadir?"
Tanyakan pada rumput yang bergoyang
#SebuahCeritaPendek
-nabilahharuna-
Sore itu, senja begitu elok. Merona berwarna jingga. Kebetulan, aku sedang cuti ibadah. Biasalah, dapat jatah libur bulanan. 🤭
Aku duduk di belakang balkon rumahku. Ku pandangi lamat-lamat, "Indah nian langit ini. Anginnya sepoi, sayup-sayup mataku disapunya". Begitu aku bersenandung, eh bersyair. Hehe.
Sekejap ku lupakan rasa sakitku. Kemarin malam, telepon darinya begitu mengacaukan pikiranku. Kenapa pula dia harus meracau tidak jelas seperti itu?
Ah, sudahlah.
Aku duduk hingga jingga berubah ungu kebiruan. Pernah lihat aurora? Ya seperti itu lah kira-kira bentuknya. Galaksi dan bintang gemintang sedang menari di angkasa. Kicau burung masih terdengar sesekali. Mungkin kesasar, lupa jalan pulang.
Ku nikmati betul pemandangan hari ini. Hm... tanggal 3 Maret 2003.
Aku ingat sekali. Tanggalnya cantik, yang membaca ini pun cantik. Kamu sedang tersenyum ya? Wah manis sekali. Coba deh senyumnya begitu terus kalau ketemu orang baru. Jangan judes, ntar kamu dijauhi orang lagi. Hehehe. Yah balik ke topik.
Malam ini aku duduk di balkon belakang rumah. Rumahku lantainya ada banyak. Ya masa cuma 2? Kan lantai banyak kan? Ratusan. Aku belum sempat hitung sih. Coba deh dihitung pasti lebih dari 2. Tingkatannya yang dua. Ya begitulah pokoknya. Rumahku bentuknya rumah panggung. Bukan untuk konser ya.
Kamarku bersebelahan dengan dapur yang waktu kecil sering ku pakai jadi kolam renang. Bisa bayangin gak? Gak bisa pasti. Ya sudah, tidak usah dipaksakan. Imajinasi dan perasaan itu sama, sama-sama tidak bisa dipaksakan. 🤭😂
Di rumah berlantaikan papan jati itu, aku yang berkuasa penuh. Punya otoritas atas kesejahteraanku bersama rakyatku. 🙄 Eh gak kok bercanda. Jadi kakakku itu sedang merantau jauh sekali. Daerahnya cukup modern. Adikku pun sering ke luar kota bersama Bundaku. Ayah sih yang selalu stay at home almost 24 hours. Ayah bekerja sebagai Arsitek Proyek Besar. Beliau kerjanya lebih banyak di rumah.
Karena aku anak rumahan, nongkrongnya kalau bulan di balkon, taman, manjat pohon mangga, atau di ruang kerja Ayah.
Ayah punya banyak koleksi gambar. Aku sering diajaknya mencorat-coret kertas gambar yang sudah dibelinya dari Jakarta. Kalau ke Jakarta, Ayah selalu mengajakku. Di usia 12 tahun, aku sudah jadi asisten Ayah. Mencatat keperluan Ayah selama bekerja, sebab Ayah begitu pelupa. Pensilnya kadang ditinggalkan di nakas tempat tidur, bawah ranjang, bahkan parahnya ada di sela tempat sikat gigi. Ayahku memang aneh. Sedikit lebih banyak cerobohnya dibanding Bundaku yang super disiplin. Bunda bekerja sebagai Diplomat. Sedang tugas di Aussie.
Kapan hari, Ayah bercerita tentang kisah pertemuannya dengan Bunda. Romantis sekali. Sungguh. Aku sampai baper dibuatnya. Di usia 12 tahun adalah usia pertama kali aku mendengar kisah cinta. Ayah bilang, Bunda adalah cinta pertama dan terakhirnya. Meskipun Bunda super sibuk, Ayah selalu memahaminya. Tidak ada yang bisa sepaham Ayah dalam mengimbangi Bunda. Ayah bilang, "Bundamu 1 diantara Sejuta".
Kalau Bunda pulang, Ayah selalu menciuminya dengan sayang. Ayah juga sering menggendong Bunda dari sofa ruang keluarga menuju taman. Kami berlarian puas sekali.
Aku jadi bercita-cita menjadi seorang Arsitek.
Sampai akhirnya, bukan aku yang jadi arsitek tapi dia.
Dia yang nyatanya mampu menaklukkan hatiku yang keras layaknya batu karam di lautan.
Kami bertemu di selasar perpustakaan kampus. Di sana ada bazar buku. Aku sedang mencari buku Psikologi karena aku mahasiswi Humaniora yang hobi membaca gerak gerik manusia. Ternyata dia pun mencari buku yang sama.
Tangan kami hampir bersentuhan, memegang buku yang judulnya sama "Menaklukkan Dengan Moral".
Sampulnya berwarna biru. Ada gambar love dan panah di sana. Entah maksudnya apa. Usiaku 18 Tahun dan sudah masuk semester 5. Iya aku akselerasi sejak TEKA. TK hanya setahun karena bosan bermain terus. 😅
ESDE 4 tahun, ESEMPE 3 TAHUN dan ESEMA 3 Tahun. Pokoknya beitulah. Wajahku pun masih mungil sekali, macam bocah. Dia tersenyum, "Mbak mau beli ini?", "iya", kataku pendek. "Ya sudah ambil saja, mbak.", "Masnya gimana?", "Gak apa saya cari yang lain saja.", "Buat mas saja. Mungkin mas lebih butuh."
"Mbaknya lebih antusias dan berbinar matanya mau beli buku ini. Silakan. Ambil saja". Dia tersenyum, manis sih tapi ah gak ah bukan tipeku.
"Oke, makasih", balasku dan berlalu membayar ke kasir yang matanya sedang bergerilya memandangi mas tadi.
Selang sebulan kemudian, ada bazar lagi. Kami jumpa lagi. Aku sudah mundur ke belakang saat melihat batang hidungnya. Ini kali ketiga kami bertemu. Hari itu, dia pakai kemeja biru langit. Warna kesukaanku. Dia menyapaku, "Mbak yang kemarin beli buku itu kan?", "Iya", "Saya Zein, kalau mbak?", "Zahrah".
--------
Sejak perkenalan itu, kami sering terlibat pertemuan di selasar perpustakaan. Hingga janjian setiap Rabu buat PKM di pojok ruangan dalam perpus yang super cozy dan adem banget.
Zein: "Ra, follow igku dong"
Zahrah: "Ogah!"
Zein: "Kok gitu jawabnya?"
Pemirsa, Zein yang rupawan, menawan dan jadi primadona kampus setelah dia di tetapkan sebagai Mawapres Utama adalah sosok yang sangat manja dan bawel bersamaku. Aku bahkan berasa punya bayi gede. Entah bapaknya di mana. Haha.
Kita sudah 3 bulan terakhir ini sering kerjain proyek tapi Zein tidak pernah melihatku memakai ponsel. Kerjaku hanya membuat gambar, desain dan notebook yang selalu ku bawa di ransel ku.
"Aku gak punya HP, Zein. Kata Ayah, putrinya ini gak boleh dibiarin pakai HP nanti digodaian cowok nakal tukang PEHAPE". Jelasku padanya yang sudah seriiiing banget minta nomor whatsapp tapi yang ku kasih malah nomor Bunda dan Nomor Ayah. Walhasil, dia malu. Haha.
"Terus, itu Ayah kamu yang kemarin balas chat aku?", matanya membelalak. Pipinya memerah. Baru kali ini aku melihat rautnya demikian.
"Iya. Emang kamu chat apaan? Kok Ayah belum cerita?", tanyaku begitu polos.
"Aku bilang Aku Rindu Kamu Ara".
"Hah? Sumpah? Wah cari masalah emang nih bocah. Pantesaaaaan Ayah gak ngomongin aku dua hari ini. Wah gak beres kamu. Udah ah aku balik duluan. Panjang nih ceritanya."
"Kamu ada hubungan apa dengan Ayahmu?"
"Aku anaknya. Gimana sih?"
"Ada berita Ayah dan Anak punya hubungan lebih dari itu."
"Astagfirullah ngaco kamu! Ayah gak bolehin aku pacaran, kenal cowok, telponan, boncengan, chatan, sampai usiaku genap 20 tahun. Kenapa? Karena Ayah bilang cowok itu banyak yang nakal. Harus cari kayak Ayah. Yang baik."
Jelasku panjang kali lebar sama dengan luas.
"Aku gak percaya."
"Ya sudah bodoh amat!"
Aku bergegas dan mengambil tasku dari locker. Zein masih duduk terpaku dan membiarkanku berlalu.
Di rumah, Ayah duduk di sofa. Melengkungkan lengan dengan tidak ramah memintaku duduk di depannya.
"Ara, duduk. Ayah mau bicara".
Firasatku terjadi.
Aku duduk dan menatap Ayah canggung.
"Berapa usia Ara sekarang?"
"18 Tahun lebih 6 bulan, Yah"
"Berapa Tahun lagi menuju 20?"
"1 tahun 6 bulan, Yah".
"Artinya?"
"Ara bentar lagi Wisuda, Yah"
Jawabku polos. Ya kan memang harusnya usia 20 aku udah wisuda dong. Wisudawan termuda tentu saja.
"Bukan itu. Yang lain. Masa kamu lupa?"
"Gak paham, Yah". Jawabku lagi.
Aku berusaha untuk tidak menyebut kata pacaran. Sumpah aku malu. Ish dasar Zein geblek.
"Ayah di chat sama teman kamu. Dia bilang dia rindu sama Ara. Senyumnya ara dan tingkah konyol Ara."
"Hah? Kok bisa dia bilang gitu?"
"Karena Ayah balas seolah-olah itu kamu."
Alamak Ayah jahil betul. Pantes aja.
"Dia bahkan ungkapin perasaannya loh."
What? Sumpah? Wah parah.
"Mana? Coba Ara lihat" pintaku dengan masih tidak percaya.
Pantas saja akhir-akhir ini Zein tingkahnya aneh. Dia membantuku tanpa ku minta. Membelikanku makanan di kantin yang jauh ya 100 meter dari jarak perpus. Dia juga yang bayarin. Selama ini, aku tidak dibiarkannya mengeluarkan uang sepeserpun. Entah kenapa aku rasa anak itu nyaman denganku. Tapi aku gak geer sih. Mungkin aku hanyalah salah satu dari jutaan yang sudah membuatnya lebih nyaman.
Aduh kenapa aku ini. Temponya singkat hanya 3 bulan.
"Dia ingin meminangmu. Sebelum kamu sampai ke rumah, dia menelpon Ayah dan meminta Ayah untuk bertemu. Dia bilang kamu mau pulang. Makanya Ayah minta kamu belanja dulu biar agak lama pulangnya."
Pantes aja tiba-tiba ayah mengirim email dan memberi perintah untuk singgah di Pasar beli sayur mayur, buah, bumbu, ikan, ayam, karena memang yang masak di rumah aku sama ayah aja. Kan Bunda 5 kali sebulan baru di rumah.
Aku diam. Terperangah. Secepat itu?
"Dia usianya beda 5 tahun dari kamu. Dia membangun perusahaan kecil yang memang dikhususkan untuk membuat denah rumah dan lain sebagainya. Dia itu sudah dapat sertifikasi keahlian arsitektur sebelum dia sarjana. Kamu tahu gak kalau dia itu kandidat Doktor di kampusmu?"
Hah? Doktor? Bocah itu doktor? Yang benar saja. Kok aku kudet ya.
"Ayah sudah mengenalnya karena Ibunya adalah klien Ayah dulu. Dia juga baru tahu kalau selama ini yang membalas pesannya itu Ayah bukan Ara."
"Wait... kok Ara gak pernah tahu semua itu? Ara cuma tahu dia anak psikolog. Kami kerjain paper loh yah. Mau diajukan sebagai PKM. Doktor kan gak bisa".
"Dia itu pembimbing kamu. Kamu gimana sih? Kamu gak pernah tanya dia?"
Malas banget ya aku tanya tentang dia. Selama ini yang kepo itu dia ke aku. Wah ini parah. Pantesan banyak dosen yang sapa dia. Aku pikir dia mawapres. Ternyata dia sejagat raya prestasinya.
Ampunilah aku Tuhan.
"Jadi gimana, kamu mau nikah sama dia?"
"Gak. Astagfirullah, Ayah. Pacaran aja gak boleh apalagi Nikah. Ayah bilang 20 Tahun. Terus ayah bilang harus sama kayak Ayah. Kalau Zein itu cowok nakal gimana? Ah aku gak mau". Aku ingin segera mengakhiri pembahasan yang mengejutkanku ini.
Selama 3 bulan akrab dengan Zein, aku benar-benar tidak pernah tertarik dengan kehidupannya. Siapa dia, pendidikannya, jurusannya, gak ada sama sekali. Kita hanya ngobrol banyak hal. Seputar psikologi nyambung, dunia gambar menggambar apa lagi. Waduh emang parah aku.
Besoknya, aku duduk di taman perpus. Mendengar murottal dan membaca Ayatul Kursi. Siapa tahu aja banyak setan yang menganggu pikiranku sekarang.
Zein tiba-tiba duduk disampingku dan berkata, "Selamat Pagi Calon Istriku".
Aku menyengitkan dahi, dan tmengabaikannya. Siapa pula dia mengakuiku sebagai calon istrinya? Enak aja.
"Ara sayang, kamu kenapa? Marah ya?"
Aku melepas earphone ku dan menghadap ke wajahnya.
"Maaf, Pak. Saya masih bocah. Tidak selevel dengan bapak. Jam 7 tadi, ada perempuan cantik menghadangku di cafetaria fakultas. Dia bilang aku harus menjauhi Bapak Zein karena dia keberatan aku selalu menjadi perbincangan di keluarga bapak. Maaf Pak saya tidak tahu kalau bapak bukan mahasiswa S1 seperti saya. Saya pamit". Kataku sambil menunduk.
"Tunggu. Saya harus jelaskan semuanya sekarang, Ara".
"Ayah sudah jelasin. Semuanya sudah jelas. Saya belum kepikiran untuk menikah. Silakan mencari yang lain saja. Tolong, jangan menemui saya lagi. Maaf kalau selama ini saya lancang. Saya minta maaf. Terima kasih sudah jadi sahabat yang baik. 3 bulan yang berarti."
Aku meninggalkan taman itu bersama Pak Zein yang berkaca-kaca matanya.
Sejak saat itu, aku tidak lagi mau mengunjungi perpustakaan itu. Aku memilih mencari perpustakaan lain. Aku selalu menghindari tempat di mana Pak Zein bisa melacak keberadaanku.
6 bulan aku kucing-kucingan. Berusaha melupakan semuanya. Tapi, ada hari di mana aku melihatnya bersama perempuan lain. Bukan perempuan yang mencegatku. Dia lebih modis, sederhana dan rambutnya di gerai begitu saja. Sempurna. Mereka pasangan serasi.
Entah kenapa mataku tertangkap basah. Pak Zein mungkin merasa sedang ada yang memata-matainya saat itu. Dia menangkap objekku dan aku bergegas.
"Inikah patah hati?", tanyaku seorang diri.
"Aku rindu, Zein"....
****Tamat****