Assalamualaikum Wr. Wb
Selamat malam ku ucapkan untuk para pembaca dan pengunjung blogku :)
Kemarin, saya baru saja memposting cerita pendek yang telah diterbitkan di koran lokal di daerah asal saya. Yah, rasanya senang sekali. Namanya juga baru pertama kali masuk koran, maksudnya tulisan sendiri :D
Setelah ku cek dasbor blog ini, saya tersadar bahwasannya setahun terakhir saya tidak pernah menuliskan apapun disini. Bahkan saat saya sudah masuk kuliah :D
Maafkanlah kekhilafanku ini. Sempat lupa bahwa ada cinta dan banyak kenangan yang ku tuliskan dalam blog ini sejak pertama kali ku buat. Sejujurnya ini bukan blogku satu-satunya dan bukan pula blogku yang pertama :D
Sudah ada beberapa blog sebelum blog TentangKu ini . Tapi sepertinya aku candu dengan blog ini. I don't know why :D
Oh iya, sekedar informasi aja nih gengs, sekarang Nabilah sudah merantau. Saat ini berkuliah di Universitas Negeri Malang. Coba tebak jurusanku apa? Dan alhamdulillahnya lulus jalur SNMPTN alias gak pake tes-tes masuk segala. Apakah itu pertanda bahwa saya tidak pintar dan hanya mengandalkan otak saya dengan berjuang bersama teman-teman yang lain di SBMPTN? Hm... nanti akan saya jawab di postingan selanjutnya. Jadi, jangan sampai ketinggalan info menarik dari saya yah :)
Inshaa Allah saya akan kembali meluangkan waktu untuk bercakap-cakap dengan teman-teman sekalian melalui blog ini.
Follow juga instagramku yaaaa
https://www.instagram.com/nabbslll/?hl=id
Langsung klik aja :)
Thank you <3 kalau mau di followback, yaa di follow dulu dong :D
Salam rindu dariku
Si Gadis perantau
Nabilah
Menuangkan segenap rasa karena lisan tak mampu berucap jujur, tapi jemari bisa menceritakan segala. #nabilahharuna
Selasa, 31 Oktober 2017
Senin, 30 Oktober 2017
Ku Angkat Kopermu, Ku Kecup Keningmu
Based on True story
Cerpen ini telah diterbitkan di Koran Radar Sulbar
Edisi, Sabtu 28 Oktober 2017
Ku Angkat Kopermu, Ku Kecup Keningmu
Oleh:
Nabilah Haruna
Kelahiran Tinambung, Polewali Mandar
Mahasiswi Universitas Negeri Malang
Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Angkatan 2016
Sedari dulu memang aku sudah muak,
tapi demi buah hati kita aku rela terus bertahan seperti ini. Aku memang merasa
iri hati kepada sepasang suami-istri yang rumah tangganya baik-baik saja.
Mereka selalu memamerkan kemesraan yang tulus tidak seperti kita yang cuma
bualan saja. Ini semua sandiwara antara aku dan kamu agar semuanya terlihat
baik-baik saja dihadapan kedua putra kita juga di depan keluarga besar kita.
"Sayang, kamu mau
kemana?"tanyaku begitu lembut.
"Ke mana aja!!!"sarkatis jawabanmu.
"Ke mana aja!!!"sarkatis jawabanmu.
Jujur saja aku selalu menangis
ketika memanjatkan doa kepada-Nya agar segera membukakan pintu hidayah untukmu
biar bisa kembali lagi bersama kami seperti sedia kala.
Malam berganti malam, larut
semakin larut.
Cerah mentari tak pernah mencerahkan hari kita.
Selalu saja dingin tak sehangat teh panas yang dikau hidangkan untukku.
Cerah mentari tak pernah mencerahkan hari kita.
Selalu saja dingin tak sehangat teh panas yang dikau hidangkan untukku.
Gilang dan Radit tumbuh menjadi
jagoan kita yang hebat. Sayangnya, prestasi mereka menurun semenjak kamu lebih
memilihnya daripada aku.
"Ayah, masakan sudah
siap"
"Mau kemana lagi?"
"Ke Makassar" katamu penuh penekanan.
"Mau kemana lagi?"
"Ke Makassar" katamu penuh penekanan.
Begitu terus. Terus berputar,
berulang, mungkin tanpa jeda itu saja kelakuanmu. Aku ingin menegur, tapi kamu
lebih punya nyali daripada aku.
Ibuku yang sudah tua rentah tidak pernah lagi kau sudi menengoknya. Aku mengajakmu, lantas kau dengan tanpa berperasaan menolak ajakanku begitu saja. Lalu, aku bisa apa?
Ibuku yang sudah tua rentah tidak pernah lagi kau sudi menengoknya. Aku mengajakmu, lantas kau dengan tanpa berperasaan menolak ajakanku begitu saja. Lalu, aku bisa apa?
Aku yang kerjanya juru Kamera,
hanya bisa mengandalkan bagusnya tekhnik pengambilan gambar yang ku punya.
Banyak orang yang datang mengundangku untuk mengabadikan potret kebahagiaan
mereka, adapula potret sendu dan miris yang seringkali terabaikan tapi ku
abadikan juga.
Banyak orang yang memujiku, dan pujian pertama yang ku dapatkan itu darimu. Tapi mengapa dirimu berpaling? Aku menjadi semakin merasa tidak berdaya.
Banyak orang yang memujiku, dan pujian pertama yang ku dapatkan itu darimu. Tapi mengapa dirimu berpaling? Aku menjadi semakin merasa tidak berdaya.
Ditambah cerita miring diluar
sana, gosip ibu-ibu tetangga, juga isu keretakan mahligai rumah tangga yang
kita bina sudah berhembus tepat di indra pendengaran kedua orang tuaku juga
seluruh keluarga besarku.
"Di Makassar, dia sudah punya
selingkuhan"
"Kamu bukan PNS, makanya dia selingkuh"
"Ada yang lebih bagus mereknya daripada kamu"
"Bukankah dia memang tipekal matrealistis?"
"Sudah ku bilang, jangan nikah dengannya!"
"Yang sabar, semua ada hikmahnya"
"Dia butuh uang banyak, bukan setoran ribuan saja!"
"Demi anak-anakmu, kamu harus kuat!"
"Sudahlah, tidak usah bertahan sok kuat!"
"Ceraikan saja!"
"Kamu memang bodoh!"
"Kamu payah sekali hahahaha"
"Kamu bukan PNS, makanya dia selingkuh"
"Ada yang lebih bagus mereknya daripada kamu"
"Bukankah dia memang tipekal matrealistis?"
"Sudah ku bilang, jangan nikah dengannya!"
"Yang sabar, semua ada hikmahnya"
"Dia butuh uang banyak, bukan setoran ribuan saja!"
"Demi anak-anakmu, kamu harus kuat!"
"Sudahlah, tidak usah bertahan sok kuat!"
"Ceraikan saja!"
"Kamu memang bodoh!"
"Kamu payah sekali hahahaha"
Begitulah kira-kira lontaran orang
disekitarku mengenai hubungan kita. Ada yang mendukung, ada yang mencemooh, ada
yang membuat ngilu isi hati, ada juga yang merendahkanku. Tapi aku berusaha
tegar setegar baja. Aku tidak ingin putra kita mengetahui aib keluarga kecil
kita.
Kepada-Nya aku berserah diri,
menyerahkan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Aku semakin takut,
bingung dan suatu hari disaat semuanya terlihat suram, sosok lain kembali
hadir. Perempuan yang dulu ku cinta di masa kanak-kanakku kembali mengulang
memori. Ya, tepat sekali. Saat itu kami reuni, kebetulan dia berada disana.
Hanya obrolan ringan yang kami bicarakan. Sampai akhirnya dia memberitahuku
bahwa dia kini sudah janda, satu anak. Lantas aku berbual “Baiklah kalau
begitu, mari kita menikah saja. Toh saya juga sudah duda, dua anak”. Dia hanya
tertawa. Dalam hati aku berkata “Aku harus segera menceriakannya” (istriku).
Berselang dua hari setelah reuni
itu, kami intens terus menjalin ukhuwah silaturahim di jejaring sosial media.
Kami kembali dekat, hingga aku merasakan hadirnya benih-benih rasa yang dulu
belum sempat tersampaikan kembali.
Istriku, Disya yang memiliki tubuh
proporsional seperti model majalah kini menduakanku, dengan terang-terangan.
Aku yang seperti tidak punya kuasa hanya diam saja. Setelah hadirnya Fitri
dalam hidupku, aku merasa hidup terlalu singkat jika terus bersama dengan
seseorang yang tidak lagi mencintaimu. Maka ku putuskan untuk memulai hubungan
baru bersamanya tanpa sepengetahuan istriku.
Aku merasa hal itu wajar saja.
Sangatlah wajar, kalian pasti mengiyakan, bukan? Jika tidak, maka kalian harus
mencoba bagaimana rasanya aku, seorang lelaki yang memiliki sejuta pengorbanan
perasaan tapi tetap tak dianggap. Segalanya, telah ku perjuangkan namun tetap
saja. Dia selingkuh, dan dengan beraninya ia memberitahukan itu kepada kedua
putraku “Nak, ini dari Papa baru mu”. Berarti dia sudah punya hubungan lebih
intim dari sekedar selingkuhan.
Disya mulai curiga, sebab taka da
lagi tanya “Mau kemana” dan sebagainya. Aku hanya diam dan tidak peduli, chat
dari Fitri jauh lebih panting bagiku saat itu. Beberapa hari dia diam-diam
mengintai hpku, yang sebenarnya adalah privasiku meskipun aku masih sebagai
suaminya. Tapi tidak pernah sekalipun aku berani mengutak atik hp miliknya.
“Kamu selingkuh!” katanya marah. “Tidak, itu hanya berteman” kataku santai.
“Tidak mungkin berteman, seperti ini isi chat kalian” dia mulai ngotot. Tapi ku
biarkan saja dia mengoceh ngawur tanpa berpikir bagaimana dia selama ini.
Malam harinya, aku mengambil
laptop milik putra sulungku. “Ayo kita buat surat perceraian” seruku padanya
dengan lembut. “Ayo” katanya sambil melongo ,antara bingung dan tidak percaya.
Tapi sepertinya dia masih menganggap aku hanya bercanda. Semua konsep surat
perceraian ku ketik dengan lengkap dengan mengkombinasikan antara kata-kata
yang ia punya dan yang ku punya.
Besoknya, aku keluar untuk ‘print
out’ surat perceraian itu. Lalu ku suruh ia untuk menandatanganinya setelah ku
minta orang tua, saudaraku untuk menjadi saksi dan bersedia untuk
menandatangani surat cerai itu. Dia diam dan menatap lamat-lamat isi surat
perceraian yang kami buat dan sudah berisi tanda tanganku, tanda tangan milik
almarhum papaku (saat itu beliau masih berada disisi kami), milik ibuku, dan
adikku. “Ini bercandakan, Yah” dengan lemah ia bertanya. “Ini serius dan bukan
bercanda. Bukankah ini inginmu?” kataku tegas. Kemudian dengan menitikkan air
mata, ia menandatangani surat cerai itu.
“Sekarang kita resmi bercerai. Saya
memberikanmu talak 3” dengan lembut ku ucapkan kata talak 3 itu, maka jatuhlah
talak 3 yang berarti kami tidak akan pernah bisa kembali lagi kecuali memenuhi
syarat dan syariah Islam. Tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir lagi untuk
kembali bersamanya. “Kemasi barangmu, kita tidak lagi boleh tinggal seatap
bersama” perintahku. “Baik, Ayah” dia tetap memanggilku dengan sebutan “Ayah”
tapi tidak masalah, toh kami tetap harus membinca tali silatuhrahim.
Bagaimanapun, dia adalah ibu dari kedua anak-anakku, dan dulu menjadi cinta
yang sangat ku banggakan meskipun akhirnya begitu pahit.
Dia memutuskan untuk berangkat ke
Makassar setelah anaknya pulang dan menyelesaikan urusannya dengan tetangga.
Dia membayar hutang piutang selama ini yang kadang menutupi kebutuhan keluarga
kecil kami yang tidak begitu berkecukupan. Sepulangnya Gilang dan Radit, ia
langsung memeluk kedua putranya dan menangis tersedu-sedu “Maafkan mama nak,
mama sudah pisah dengan ayah”. Aku sedih, aku juga menangis dalam hati. Begitu
pahit sudah semuanya, dan kini semuanya harus berakhir.
Dulu, aku memintanya menjadi
istriku secara baik-baik, maka ku lepaslah ia dengan baik-baik pula. “Mari ku
antar ke mobil” ajakku. Kami diam saja, seperti tidak ada masalah. Tidak
satupun tetangga yang tahu saat itu kami sudah bercerai. Sesampainya di
terminal, ku angkat kopornya kemudian ku kecup keningnya, ku peluk ia begitu
erat. Aku menitikkan air mata “Usayanggi sannal o, ma. Tapi sata mu
pate-patenganaq selama dzi’e
*Tamat*
*** (bahasa Mandar, suku di
Sulawesi Barat”
yang artinya : “Aku sangat
menyangimu, ma. Tapi kamu selalu membuatku seperti ini, menyia-nyiakanku.
Semoga kehidupanmu yang baru selalu bahagia”.
Langganan:
Postingan (Atom)