Senin, 30 Oktober 2017

Ku Angkat Kopermu, Ku Kecup Keningmu



Based on True story
Cerpen ini telah diterbitkan di Koran Radar Sulbar
Edisi, Sabtu 28 Oktober 2017
 
Ku Angkat Kopermu, Ku Kecup Keningmu
Oleh:
Nabilah Haruna
Kelahiran Tinambung, Polewali Mandar
Mahasiswi Universitas Negeri Malang
Prodi Bahasa dan Sastra Inggris Angkatan 2016
 
Sumber Gambar : Nahliana Abdullah (Koran Radar Sulbar 28/8/17) 
Sedari dulu memang aku sudah muak, tapi demi buah hati kita aku rela terus bertahan seperti ini. Aku memang merasa iri hati kepada sepasang suami-istri yang rumah tangganya baik-baik saja. Mereka selalu memamerkan kemesraan yang tulus tidak seperti kita yang cuma bualan saja. Ini semua sandiwara antara aku dan kamu agar semuanya terlihat baik-baik saja dihadapan kedua putra kita juga di depan keluarga besar kita.
"Sayang, kamu mau kemana?"tanyaku begitu lembut.
"Ke mana aja!!!"sarkatis jawabanmu.
Jujur saja aku selalu menangis ketika memanjatkan doa kepada-Nya agar segera membukakan pintu hidayah untukmu biar bisa kembali lagi bersama kami seperti sedia kala.
Malam berganti malam, larut semakin larut.
Cerah mentari tak pernah mencerahkan hari kita.
Selalu saja dingin tak sehangat teh panas yang dikau hidangkan untukku.
Gilang dan Radit tumbuh menjadi jagoan kita yang hebat. Sayangnya, prestasi mereka menurun semenjak kamu lebih memilihnya daripada aku.
"Ayah, masakan sudah siap"
"Mau kemana lagi?"
"Ke Makassar" katamu penuh penekanan.
Begitu terus. Terus berputar, berulang, mungkin tanpa jeda itu saja kelakuanmu. Aku ingin menegur, tapi kamu lebih punya nyali daripada aku.
Ibuku yang sudah tua rentah tidak pernah lagi kau sudi menengoknya. Aku mengajakmu, lantas kau dengan tanpa berperasaan menolak ajakanku begitu saja. Lalu, aku bisa apa?
Aku yang kerjanya juru Kamera, hanya bisa mengandalkan bagusnya tekhnik pengambilan gambar yang ku punya. Banyak orang yang datang mengundangku untuk mengabadikan potret kebahagiaan mereka, adapula potret sendu dan miris yang seringkali terabaikan tapi ku abadikan juga.
Banyak orang yang memujiku, dan pujian pertama yang ku dapatkan itu darimu. Tapi mengapa dirimu berpaling? Aku menjadi semakin merasa tidak berdaya.
Ditambah cerita miring diluar sana, gosip ibu-ibu tetangga, juga isu keretakan mahligai rumah tangga yang kita bina sudah berhembus tepat di indra pendengaran kedua orang tuaku juga seluruh keluarga besarku.
"Di Makassar, dia sudah punya selingkuhan"
"Kamu bukan PNS, makanya dia selingkuh"
"Ada yang lebih bagus mereknya daripada kamu"
"Bukankah dia memang tipekal matrealistis?"
"Sudah ku bilang, jangan nikah dengannya!"
"Yang sabar, semua ada hikmahnya"
"Dia butuh uang banyak, bukan setoran ribuan saja!"
"Demi anak-anakmu, kamu harus kuat!"
"Sudahlah, tidak usah bertahan sok kuat!"
"Ceraikan saja!"
"Kamu memang bodoh!"
"Kamu payah sekali hahahaha"
Begitulah kira-kira lontaran orang disekitarku mengenai hubungan kita. Ada yang mendukung, ada yang mencemooh, ada yang membuat ngilu isi hati, ada juga yang merendahkanku. Tapi aku berusaha tegar setegar baja. Aku tidak ingin putra kita mengetahui aib keluarga kecil kita.
Kepada-Nya aku berserah diri, menyerahkan semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Aku semakin takut, bingung dan suatu hari disaat semuanya terlihat suram, sosok lain kembali hadir. Perempuan yang dulu ku cinta di masa kanak-kanakku kembali mengulang memori. Ya, tepat sekali. Saat itu kami reuni, kebetulan dia berada disana. Hanya obrolan ringan yang kami bicarakan. Sampai akhirnya dia memberitahuku bahwa dia kini sudah janda, satu anak. Lantas aku berbual “Baiklah kalau begitu, mari kita menikah saja. Toh saya juga sudah duda, dua anak”. Dia hanya tertawa. Dalam hati aku berkata “Aku harus segera menceriakannya” (istriku).
Berselang dua hari setelah reuni itu, kami intens terus menjalin ukhuwah silaturahim di jejaring sosial media. Kami kembali dekat, hingga aku merasakan hadirnya benih-benih rasa yang dulu belum sempat tersampaikan kembali.
Istriku, Disya yang memiliki tubuh proporsional seperti model majalah kini menduakanku, dengan terang-terangan. Aku yang seperti tidak punya kuasa hanya diam saja. Setelah hadirnya Fitri dalam hidupku, aku merasa hidup terlalu singkat jika terus bersama dengan seseorang yang tidak lagi mencintaimu. Maka ku putuskan untuk memulai hubungan baru bersamanya tanpa sepengetahuan istriku.
Aku merasa hal itu wajar saja. Sangatlah wajar, kalian pasti mengiyakan, bukan? Jika tidak, maka kalian harus mencoba bagaimana rasanya aku, seorang lelaki yang memiliki sejuta pengorbanan perasaan tapi tetap tak dianggap. Segalanya, telah ku perjuangkan namun tetap saja. Dia selingkuh, dan dengan beraninya ia memberitahukan itu kepada kedua putraku “Nak, ini dari Papa baru mu”. Berarti dia sudah punya hubungan lebih intim dari sekedar selingkuhan.
Disya mulai curiga, sebab taka da lagi tanya “Mau kemana” dan sebagainya. Aku hanya diam dan tidak peduli, chat dari Fitri jauh lebih panting bagiku saat itu. Beberapa hari dia diam-diam mengintai hpku, yang sebenarnya adalah privasiku meskipun aku masih sebagai suaminya. Tapi tidak pernah sekalipun aku berani mengutak atik hp miliknya. “Kamu selingkuh!” katanya marah. “Tidak, itu hanya berteman” kataku santai. “Tidak mungkin berteman, seperti ini isi chat kalian” dia mulai ngotot. Tapi ku biarkan saja dia mengoceh ngawur tanpa berpikir bagaimana dia selama ini.
Malam harinya, aku mengambil laptop milik putra sulungku. “Ayo kita buat surat perceraian” seruku padanya dengan lembut. “Ayo” katanya sambil melongo ,antara bingung dan tidak percaya. Tapi sepertinya dia masih menganggap aku hanya bercanda. Semua konsep surat perceraian ku ketik dengan lengkap dengan mengkombinasikan antara kata-kata yang ia punya dan yang ku punya.
Besoknya, aku keluar untuk ‘print out’ surat perceraian itu. Lalu ku suruh ia untuk menandatanganinya setelah ku minta orang tua, saudaraku untuk menjadi saksi dan bersedia untuk menandatangani surat cerai itu. Dia diam dan menatap lamat-lamat isi surat perceraian yang kami buat dan sudah berisi tanda tanganku, tanda tangan milik almarhum papaku (saat itu beliau masih berada disisi kami), milik ibuku, dan adikku. “Ini bercandakan, Yah” dengan lemah ia bertanya. “Ini serius dan bukan bercanda. Bukankah ini inginmu?” kataku tegas. Kemudian dengan menitikkan air mata, ia menandatangani surat cerai itu.
“Sekarang kita resmi bercerai. Saya memberikanmu talak 3” dengan lembut ku ucapkan kata talak 3 itu, maka jatuhlah talak 3 yang berarti kami tidak akan pernah bisa kembali lagi kecuali memenuhi syarat dan syariah Islam. Tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir lagi untuk kembali bersamanya. “Kemasi barangmu, kita tidak lagi boleh tinggal seatap bersama” perintahku. “Baik, Ayah” dia tetap memanggilku dengan sebutan “Ayah” tapi tidak masalah, toh kami tetap harus membinca tali silatuhrahim. Bagaimanapun, dia adalah ibu dari kedua anak-anakku, dan dulu menjadi cinta yang sangat ku banggakan meskipun akhirnya begitu pahit.
Dia memutuskan untuk berangkat ke Makassar setelah anaknya pulang dan menyelesaikan urusannya dengan tetangga. Dia membayar hutang piutang selama ini yang kadang menutupi kebutuhan keluarga kecil kami yang tidak begitu berkecukupan. Sepulangnya Gilang dan Radit, ia langsung memeluk kedua putranya dan menangis tersedu-sedu “Maafkan mama nak, mama sudah pisah dengan ayah”. Aku sedih, aku juga menangis dalam hati. Begitu pahit sudah semuanya, dan kini semuanya harus berakhir.
Dulu, aku memintanya menjadi istriku secara baik-baik, maka ku lepaslah ia dengan baik-baik pula. “Mari ku antar ke mobil” ajakku. Kami diam saja, seperti tidak ada masalah. Tidak satupun tetangga yang tahu saat itu kami sudah bercerai. Sesampainya di terminal, ku angkat kopornya kemudian ku kecup keningnya, ku peluk ia begitu erat. Aku menitikkan air mata “Usayanggi sannal o, ma. Tapi sata mu pate-patenganaq selama dzi’e


. Semoga sata bahagia o, di kehidupan mu yang baru”*** ucapku dengan khidmat. Terakhir kalinya aku menggunakan hakku sebelum surat itu sampai ke pengadilan. Sebejat apapun perilakunya di mataku, dia tetaplah istri sempurna bagiku dan ibu sejati bagi kedua putraku.
*Tamat*



 
*** (bahasa Mandar, suku di Sulawesi Barat”
yang artinya : “Aku sangat menyangimu, ma. Tapi kamu selalu membuatku seperti ini, menyia-nyiakanku. Semoga kehidupanmu yang baru selalu bahagia”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar